Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas
Mata
Kuliah: Ilmu Budaya Lokal
Oleh:
Widyasari P
BAB I
PENDAHULUAN
Di era globalisasi dan modernisasi seperti sekarang ini,
kehidupan manusia semakin beragam. Seiring dengan itu, budaya terus-menerus
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perkembangan pola pikir dan cara bertindak
manusia dalam kehidupannya. Perkembangan budaya ada yang berlangsung cepat
(revolusi kebudayaan) dan ada pula yang berkembang perlahan (evolusi
kebudayaan). Perkembangan budaya jenis yang kedua ini atau yang bersifat
evolutif hampir tidak bisa dirasakan gerak pertumbuhannya sebab berlangsung
lama. Ia seakan-akan hadir dan membekas dalam diri manusia tanpa dirasakan oleh
yang bersangkutan, baik secara individu (person) maupun kelompok (kolektif).
Meski demikian, satu kenyataan yang pasti adalah kebudayaan terus dan akan
menggiring atau digiring oleh manusia menuju tingkat peradaban yang lebih maju.
Di Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam, dengan
demikian, di negeri ini dihuni komunitas muslim terbesar bila dibandingkan
dengan Negara-negara lainnya. Sebelum Islam masuk ke Indonesia khususnya pulau
Jawa ada kepercayaan lama yang telah berkembang lebih dulu, yaitu agama Hindu
Budha yang pada masa itu banyak dipeluk oleh kalangan kerajaan, sedangkan
kepercayaan asli yang bertumpu pada animisme dipeluk oleh kaum awam. Walaupun
ketiga kepercayan lama itu berbeda namun bertumpu pada satu titik yang sama
yaitukental dengan nuansa mistiknya dan berusaha mencari sangkan paraning dumadi dan mendambakan manunggaling kawula gusti. Banyak sekali ritual adat atau
kebudayaan lama yang masih berjalan sampai sekarang. Salah satunya nyadran,
sampai sekarang masih menjadi rutinitas sebagian besar masyarakat Jawa setiap
tahun pada bulan dan hari yang telah ditentukan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hubungan Agama dan Kebudayaan
Agama identik dengan dengan
kebudayaan. Karena keduanya merupakan pedoman petunjuk dalam kehidupan. Bedanya
petunjuk agama dari tuhan dan petunjuk budaya dari kesepakatan manusia. Ketika
agama islam datang pada masyarakat sebenarnya masyarakat sudah memiliki
petunjuk yang menjadi pedoman yang sifatnya masih lokal. Ada atau tidak ada
agama, masyarakat akan terus hidup dengan pedoman yang mereka miliki itu. Jadi
datangnya agama besar tersebut identik dengan datangnya kebudayaan baru yang
akan berinteraksi dengan kebudayaan lama dan mengubah unsur-unsur kebudayaan
lama.
Hubungan agama dengan kebudayaan
dapat digambarkan sebagai hubungan yang berlangsung secara timbal balik. Agama
secara praksis merupakan produk dari pemahaman dan pengalaman masyarakat
berdasarkan kebudayaan yang telah dimilikinya. Sedang kebudayaan selalu berubah
mengikuti agama yang diyakini oleh masyarakat. Jadi hubungan agama dan
kebudayaan bersifat dialogis.
Masyarakat memahami agama
menggunakan kerangka atau alat kebudayaan yang dimilikinya. Perbedaan kerangka
dan alat yang digunakan itulah yang membawa implikasi perbedaan pemahaman dan
praktek keagamaan. Islam memiliki satu Tuhan Allah SWT, satu kitab suci
Al-Qur’an, dan satu Nabi Muhammad SAW, dalam prakteknya tidak pernah
menunjukkan wajah yang tunggal. Banyak aliran, banyak kelompok dan banyak
model, sebanyak variasi kebudayaan tempat islam itu sendiri berkembang.
Demikian pula, kebudayaan satu
masyarakat akan sangat dipengaruhi oleh agama yang mereka peluk. Ketika agama
telah diterima oleh masyarakat, maka dengan sendirinya agama tersebut akan
mengubah struktur kebudayaan masyarakat tersebut, bisa perubahannya sangat mendasar
(asimilatif), bisa juga hanya mengubah unsur-unsurnya saja (akulturatif). Atau
pada awalnya bersifat akulturatif namun lambat laun bersifat asimilatif.
B.
Kebudayaan
Jawa
Kebudayaan merupakan elemen yang tidak bisa dilepaskan dari
kehidupan manusia. Menurut Koentjaraningrat (1981), kebudayaan merupakan
keseluruhan kegiatan yang meliputi tindakan, perbuatan, tingkah laku manusia,
dan hasil karyanya yang didapat dari belajar. Di satu sisi, manusia mencipta
budaya, namun di sisi lain, manusia merupakan produk dari budaya tempat dia
hidup. Hubungan saling pengaruh ini merupakan salah satu bukti bahwa manusia
tidak mungkin hidup tanpa budaya, betapapun primitifnya. Kehidupan berbudaya
merupakan ciri khas manusia dan akan terus hidup melintasi alur zaman. Sebagai
warisan nenek moyang, kebudayaan membentuk kebiasaan hidup sehari-hari yang
diwariskan turun-temurun. Ia tumbuh dan berkembang dalam kehidupan manusia dan
hampir selalu mengalami proses penciptaan kembali.
Masyarakat Jawa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang
diikuat oleh norma-norma hidup karena sejarah tradisi maupun agama. Hal ini
dapat dilihat dari cirri masyarakat jawa secara kekerabatan. Sistem hidup
kekeluargaan di Jawa tergambar dari kekerabatan masyarakat Jawa. Jika
memperhatikan kosakata dari kekerabatan tampaklah istilah yang sama dipakai
menyebut moyang, baik ditingkat ketiga atau keturunan ketika, dengan aku
sebagai acuan. Jadi buyut bisa berarti ayahnya kakek, maupun anaknya cucu, dan
seterusnya (wareng, udeg-udeg, gantung
siwur, gropak sente, debog bosok). Hukum adat menuntut setiap orang lelaki
bertanggungjawab terhadap keluarganya dan masih dituntut untuk bekerja membantu
kerabat lain dalam hal-hal tertentu seperti mengerjakan tanah pertanian,
membuat rumah, memperbaiki jalan desa, membersihkan tanah pekuburan, dan
lainnya. Semboyan saiyeg saeka praya atau gotong royong merupakan rangkaian
hidup tolong menolong sesame warga. Kebudayaan yang mereka bangun adalah hasil
adaptasi dari alam sehingga dapat meletakkan pondasi patembayatan yang kuat dan
mendasar.
Kebudayaan Jawa sampai sekarang masih kental akan budaya
Hindu-Budha animism dinamisme. Dimana pada saat Hindu-Budha masuk di Jawa
menjadi manifestasi kepercayaan Hindu-Budha, kegiatan yang mereka lakukan
berupa upacara, tradisi yang masih dilihat keberadaannya sampai saat ini.
Salahsatu dari kebudayaan Jawa yang masih kental akan kepercayaan animisme dan
dinamisme adalah tradisi nyadran. Yang sampai sekarang masih dilakukan di
sebagian masyarakat Jawa. Upacara nyadran ini merupakan penghormatan kepada
leluhur dan bisa juga menjadi bentuk syukuran massal. Di wilayah Jawa
pedalaman, nyadran lazim digelar di pemakaman menjelang bulan puasa (Syaban),
sedangkan di Jawa pesisiran dilakukan di pantai pada Jumadil Awal (tahun 2009
jatuh pada April). Acara ini menciptakan ciri khas kebudayaan pesisir pantai
dan mempunyai daya tarik tertentu yang masyur di masyarakat.
C.
Akulturasi
dan Hubungan Budaya Jawa dan Islam
Dalam proses penyebaran Islam di Jawa ada dua
pendekatan yang digunakan agar nilai Islam diserap menjadi bagian dari budaya
Jawa pendekatan yang pertama yaitu Islamisasi Kultur Jawa. Upaya ini ditandai
dengan penggunaan istilah-istilah Islam, nama-nama Islam dan pengambilan peran
tokoh Islam pada berbagai cerita lama, sampai kepada penerapan hokum-hukum,
norma-norma Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Adapun pendekatan yang kedua
yaitu Jawanisasi Islam, yang diartikan sebagai upaya penginternalisasian nilai-nilai
Islam melalui cara pertama, asimilasi dimulai dari aspek formal terlebih dahulu
sehingga symbol-simbol keislaman Nampak secara nyata dalam budaya Jawa,
sedangkan pada cara kedua, meskipun istilah-istilah dan nama-nama Jawa tetap
dipakai, tetapi nilai-nilai yang dikandungnya adalah nila-nilai Islam sehingga
Islam menjadi men-Jawa. Berbagai kenyataan menunjukkan bahwa produk-produk
budaya orang Jawa yang beragama Islam cenderung mengarah kepada polarisasi
Islam kejawaab atau Jawa yang keislaman sehingga timbul istilah Islam Jawa atau
Islam Kejawen. Sebagai contoh sebutan jawa narimo
ing pandum yang pada hakekatnya adalah penerjemahan dari tawakkal sebagai konsep sufistik. Dalam
fiqih terdapat konsep sepikul-segendongan sebagai bentuk pembagian harta waris
dari konsep Islam, perbandingan 2:1 bagi anak laki-laki dengan perempuan, dan
masih banyak contoh lainnya.
a.
Hubungan Budaya Jawa dengan Islam dalam Aspek
Kepercayaan
Setiap agama dalam Arti seluas-luasnya tentu memiliki aspek
fundamental, yakni aspek kepercayaan atau keyakinan, terutama kepercayaan
terhadap sesuatu yang sacral, yang suci atau yang gaib. Dalam agama Islam aspek
fundamental itu terumuskan dalam istilah aqidah atau keimanan sehingga terdapat
rukun iman, yang di dalamnya terangkum hal-hal yang harus dipercayai atau
diimani oleh muslim. Sementara itu dalam budaya Jawa pra Islam yang bersumber
dari ajaran agama Hindu terdapat kepercayaan tentang adanya para dewata.
Kepercayaan-kepercayaan dari agama Hindu, Budha, maupun
kepercayaan dinamisme dan animisme itulah yang menjadi proses perkembangan
Islam berinterelasi dengan kepercayaan-kepercayaan dalam Islam. Pada aspek
ketuhanan, prinsip ajaran tauhid Islam telah berkelindan dengan berbagai unsure
Hindu-Budha maupun kepercayaan primitive. Sebutan Allah dengan berbagai nama
yang terhimpun dalam asma’ul husna
telah berubah menjadi Gusti Allah, Gusti
Kang Murbeng Dumadi (al-Khaliq), Ingkang
Maha Kuwaos (al- Qodir), dan lain-lain.
Kaitannya dengan ketentuan takdir baik ataupun buruk dari
Tuhan, dalam budaya Jawa tampaknya telah terpengaruh oleh teologi Jabariyah
sehingga terdapat kecenderungan orang lebih bersikap pasrah, sumarah, dan
narimo ing pandum terhadap ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh
Allah. Meskipun demikian manusia juga berpeluang untuk berikhtiar dengan
kemampuan yang dimiliki, setidak-tidaknya dengan berdo’a, memohon pertolongan
kepada-Nyam ada juga ikhtiar yang lebih diwarnai oleh nilai-nilai yang
bersumber dari kepercayaan primitive atau bersumber dari agama Hindu.
b.
Hubungan Budaya Jawa dengan Islam dalam Aspek Ritual
Agama
Islam mengajarkan agar para pemeluknya melakukan kegiatan-kegiatan ritualistik
tertentu. Yang dimaksud kegiatan ritualistik tersebut adalah meliputi berbagai bentuk ibadah
sebagaimana yang tertulis dalam rukun Islam, yakni syahadat, shalat, puasa,
zakat, dan haji. Dalam aspek do’a dan puasa tampak mempunyai pengaruh yang
sangat luas, mewarnai berbagai bentuk upacara tradisional orang Jawa.
Bagi
orang Jawa, hidup ini penuh dengan upacara, baik upacara-upacara yang berkaitan
dengan lingkungan hidup manusia sejak dari keberadaannya dalam perut ibu,
lahir, kanak-kanak, remaja, dewasa sampai dengan saat kematiannya, atau juga
upacara-upacara yang berkaitan dengan aktivitas kehidupan sehari-hari. Upacara-upacara
itun semula dilakukan dalam rangka untuk menangkal pengaruh buruk dari daya
kekuatan gaib yang tidak dikehendaki yang akan membayakan bagi kelangsungan
kehidupan manusia. Dalam kepercayaan lama, upacara dilakukan dengan menggunakan
sesaji atau semacam korban yang disajikan kepada daya-daya kekuatan gaib
(roh-roh, mahluk-mahluk halus, dewa-dewa) tertentu. Tentu dengan upacara itu
harapan pelaku upacara adalah agar hidup senantiasa dalam keadaan selamat.
D.
Budaya Islam-Jawa
dalam Tradisi Nyadran
Bagi masyarakat Jawa, bulan Sya’ban
ini dinamakan dengan bulan Ruwah. Para tokoh mengatakan bahwa kata ruwah
berasal dari kata ngluru dan arwah. Dalam pandangan falsafah jawa, bulan Ruwah
kemudian dipercaya sebagai saat yang tepat untuk ngluru arwah atau mengunjungi
arwah leluhur.
Selama bulan Ruwah itu masyarakat
Jawa mengadakan upacara Nyadran (berasal dari kata Sraddha, bahasa sansekerta),
mengunjungi makam leluhur untuk membersihkan makam dan menabur bunga. Upacara
Sraddha ini sudah dilakukan sejak jaman Majapahit. Setelah agama Islam masuk ke
tanah Jawa, upacara Sraddha tetap dilaksanakan, namun oleh Sunan Kalijaga
dikemas dalam nuansa islami dan suasana penuh silaturrahmi yang diadakan tiap
bulan Ruwah.
Ritual slametan Nyadran pada
tiap-tiap daerah di Jawa dilaksanakan dengan berbagai cara yang berbeda.
Masyarakat pedesaan Jawa umumnya menyelenggaran upacara Nyadran secara umum
(komunal) yang diselenggarakan pada siang hari hingga sore. Masing-masing warga
membuat tumpeng kecil yang kemudian dibawa ke rumah kepala dusun untuk
sama-sama mengadakan do’a dan makan bersama (kenduri). Ada juga yang langsung
dibawa ke makam dan mengadakan do’a bersama di makam.
Menu makanan yang dipersiapkan
biasanya berupa nasi gurih dan lauknya. Sebagai sesaji, terdapat makanan khas
yaitu ketan, kolak, dan apem. Ketiga jenis makanan ini dipercaya memiliki makna
khusus. Ketan merupakan lambang kesalahan (khotho’an), kolak adalah lambang
kebenaran (kolado), dan apem sebagai simbol permintaan maaf. Bagi masyarakat
Jawa yang tinggal di Yogyakarta dan sekitarnya, makanan ketan, kolak, dan apem
memang selalu hadir dalam setiap upacara/slametan yang terkait dengan kematian.
Makna yang terkandung dalam sesaji ini adalah agar arwah mendapatkan tempat
yang damai di sisi-Nya.
Sementara itu di masyarakat yang
lain ada yang mengemas makanan itu ke dalam takir, yaitu tempat makanan terbuat
dari daun pisang, di kanan kiri ditusuki lidi. Selain dipakai untuk munjung
(dibagi-bagikan) kepada sanak saudara yang lebih tua, makanan itu juga menjadi
ubarampe (pelengkap) kenduri. Tetangga dekat juga mendapatkan bagian dari
makanan tadi.
Selanjutnya, acara puncak sadranan
itu dimulai dengan membersihkan makam. Selesai melakukan pembersihan makam,
masyarakat kampung menggelar kenduri yang berlokasi di sepanjang jalan menuju
makam atau lahan kosong yang ada di sekitar makam leluhur (keluarga). Kenduri
dimulai setelah ada bunyi kentongan yang ditabuh dengan kode dara muluk
(berkepanjangan). Lalu seluruh keluarga dan anak-anak kecil serta remaja hadir
dalam acara kenduri itu.
Tiap keluarga biasanya akan membawa
makanan sekadarnya, beragam jenis, lalu duduk bersama dalam keadaan bersila.
Kemudian, tokoh desa membuka acara, isinya bermaksud untuk mengucapkan rasa
syukur dan terima kasih kepada warga yang sudah bersedia menyediakan makanan,
ambengan, dan lain-lain termasuk waktunya. Setelah itu, Mbah Kaum (ulama lokal)
yang sudah dipilih menjadi rois, maju untuk memimpin doa yang isinya memohon
maaf dan ampunan atau dosa para leluhur atau pribadi mereka kepada Tuhan Yang
Mahakuasa.
Dengan menilik sejarah munculnya
sadranan atau nyadran itu, secara meyakinkan bahwa sebenarnya ritual ini
bukanlah ritual Islam. Islam hanyalah menumpang dalam bentuk do’a. Konon
perubahan do’a inilah hasil dari dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kalijogo,
agar masyarakat jawa tertarik kepada Islam. Tentunya dengan perubahan do’a
memang mengubah, dari berdo’a kepada selain Allah menjadi berdo’a kepada Allah.
Namun perubahan do’a tidaklah mengubah substansi ritual. Dan secara
substansial, ritual ini tidak diajarkan oleh Islam. Memang, ziarahnya adalah
sebuah sunnah rasulullah, tetapi dengan ritual tetek bengek itu bukanlah ritual
islam. Karena itulah di beberapa wilayah, tradisi ini sudah diperbaiki
sedemikian rupa. Acara makan-makan sudah ditiadakan, dan do’a bersama sudah
tidak dilakukan lagi. Yang dilakukan saat ini tinggal ziarah dan tabur bunga
(nyekar) saja. Dalam kegiatan itu yang dilakukan adalah membersihkan makam, dan
mendo’akan jenazah keluarga yang dimakamkan di sana. Tidak membawa makanan
tertentu, juga tidak ada acara makan-makan apa-apa.
a. Ziarah Islam
Memang di dalam Islam disyari’atkan
pula melakukan ziarah kubur. Disyari’atkan ziarah kubur itu dengan maksud untuk
mengambil pelajaran (‘ibrah) dan ingat akan kehidupan akhirat, dengan syarat
tidak mengucapkan kata-kata yang mendatangkan murka Allah swt. Sebagai misal,
meminta sesuatu kepada penghuni kubur (orang mati) dan memohon pertolongan
kepada selain Allah dan semisalnya.
Dasar pensyari’atan ziarah kubur adalah hadis;
عَنْ بُرَيْدَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صلى الله عليه وسلم نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا
Dari Buraidah, ia berkata;
Rasulullah saw bersabda, “Dulu aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan,
maka sekarang ziarahlah”. (Shahih Muslim)
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّ فِيهَا عِبْرَةً
وَلاَ تَقُوْلُوْا مَا يَسْخَطُ اللهُ عز و جل
Dari Abu Sa’id al-Khudri r.a. Rasulullah
saw. bersabda, “Sesungguhnya aku pernah mencegah kalian dari ziarah kubur, maka
(sekarang) ziaralah kuburan; karena padanya mengandung ‘ibrah (pelajaran),
namun janganlah kalian mengucapkan kata-kata yang menyebabkan Allah murka
(kepada kalian).” (HR al-Hakim dan Baihaqi tetapi penggalan kalimat terakhir
dari riwayat, al-Bazzar).
Yang diajarkan oleh Rasulullah
ketika berziarah adalah mendo’akan ahli kubur, seperti dengan ucapan
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ
الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُسْلِمِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ
لَلاَحِقُونَ أَسْأَلُ اللَّهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ
Salam sejahtera atas kalian wahai
penduduk penduduk dari Mukminin dan Muslimin, Semoga kasih sayang Allah atas yg
terdahulu dan yang akan datang, dan Sungguh Kami Insya Allah akan menyusul
kalian (HR Muslim).
b.
Hari raya
di Kuburan
Kegiatan nyadran bisa dianggap
sebagai hari raya di kuburan. Menjadikan kuburan sebagai lokasi perayaan dan
mendatanginya pada waktu-waktu tertentu atau musim-musim tertentu untuk
beribadah di sisi kuburan atau semisal termasuk hal yang dilarang berdasarkan
hadits
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : لاَ
تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا ، وَلاَ بُيُوتَكُمْ قُبُورًا ، وَصَلُّوا عَلَيَّ ،
وَسَلِّمُوا فَإِنَّ صَلاتَكُمْ تَبْلُغُنِي
Dari Ali bin Abi Thalib ra. Berkata,
bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kamu menjadikan kuburankan sebagai
arena perayaan dan jangan (pula) kamu menjadikan rumah-rumah kamu sebagai
kuburan (yang bebas dari kegiatan ibadah); bershalawatlah kepadaku, karena
sesungguhnya shalawatmu akan sampai kepadaku.” (HR al-Bazzar, dengan sanad
jayyid).
Bisa jadi penjelasan di atas
menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian kaum muslimin, jangan-jangan berziarah
kubur di bulan Sya’ban itu terlarang. Melakukan ziarah di bulan Sya’ban tentu
bukan sesuatu yang terlarang. Yang terpenting, jika hendak melakukan ziarah
adalah tidak tersirat di dalam hati keinginan berziarah karena sudah memasuki
bulan sya’ban.
BAB III
PENUTUP
Sebelum masyarakat mengenal agama
kepercayaan mereka mempunyai batasan dalam bertindak. Hubungan agama dengan
kebudayaan bersifat dialogis, kebudayaan selalu berubah mengikuti agama yang
diyakini oleh masyarakat. Kebudayan juga dapat membentuk kebiasaan hidup
sehari-hari yang dapat berlangsung turun temurun.
Indonesia memang sangat kental akan
keberagaman. Seperti budaya jawa yang sangat banyak dipengaruhi dari agama
Islam. Seperti dijelaskan di bab sebelumnya bahwa hubungan antara budaya jawa
dan Islam dalam aspek kepercayaan dan ritual menunjukkan bahwa kehidupan
keberagaman orang Jawa suatu upaya untuk mengakomodasikan antara nilai-nilai
Islam dengan budaya Jawa pra-Islam. Salah satu tradisi yang masih kental dengan
budaya pra-Islam (Hindu-Budha) dan animisme adalah tradisi Nyadran, tradisi ini
telah di akulturasikan dengan nilai Islam oleh Walisongo sehingga mudah
diterima oleh masyarakat Jawa.
Tradisi nyadran ini merupakan simbol
adanya hubungan dengan para leluhur, sesama, dan Yang Mahakuasa atas segalanya.
Nyadran merupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan budaya lokal Jawa dan
nilai-nilai Islam, sehingga sangat tampak adanya lokalitas yang masih kental
islami. Budaya masyarakat yang sudah melekat erat menjadikan masyarakat Jawa
sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari kebudayaan itu. Tata cara
setiap rangkaian Nyadran ini menyiratkan nilai-nilai sosial budaya, seperti budaya
gotongroyong, guyub, pengorbanan, ekonomi.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Darori. 2000 . Islam dan Kebudayaan Jawa. Semarang:
Gama Media
Yusuf, Mundzirin dkk. 2005. Islam Budaya Lokal. Yogyakarta: Pokja
Akademik UIN Sunan Kalijaga
http://bud1prasety0.wordpress.com
ziarah kubur sebagai metode untuk mengingatkan saya secara pribadi bahwa saya besok pasti mati. Jadi harus siap-siap.
BalasHapus